Bismillahirrahmanirrahim...
“Bukan saya tidak pernah cuba untuk berubah! Namun semuanya sia-sia saja, kak!’ adu seorang junior. Saya menepuk-nepuk baunya dalam usaha mendamaikan ketidak keruan hatinya.
“Apabila saya hendak berubah, ada sja yang menyindir. Misalnya tempoh hari saya pakai tudung yang sedikit labuh dan tidak jarang seperti biasa. Sahabat-sahabat menyindir. Kata mereka sejak bila pula jadi alim ini!” lanjutnya lagi.
“Manusia itu beribu banyaknya, dik. Tiada perbuatan yan lebih sia-sia daripada memenuhi keinginan setiap manusia. Pedulikan apa manusia hendak kata. Yang penting apa yang kita lakukan tidak bertentangan dengan perintah-Nya,” pujuk saya.
“Saya tak boleh, kak! Lagipun saya datang daripada keluarga yang biasa-biasa saja. Mak kadang-kadang bertudung. Kadang-kadang tidak. Ayah pula kadang-kadang solat, kadang-kadang tidak. Mana mungkin saya boleh menjadi baik!” tokok junior saya tadi.
“Kamu silap, dik. Cuba kita teliti semula sejarah nabi-nabi dan rasul-rasul terdahulu. Tatkala Nabi Nuh AS rancak menyampaikan seruan daripada Yang Esa, adakah anak dan isterinya beriman dengannya? Saat Nabi Ibrahim menyatakan bahawa berhala yang disembah kaumnya itu bukan tuhan, adakah Azaar, ayahnya menerimanya? Kesimpulannya,dik iman itu tidak diwarisi. Allah juga telah bersumpah mengenainya,”
“Allah juga telah bersumpah mengenainya? Maksud akak?” Saya lihat dahi junior saya berkerut. Lama pandangan kami bertaut.
“Demi jiwa dan penyempurnaannya. Allah telah mengilhamkan kepada sukma kefasikan dan ketaqwaan. Beruntunglah yang menyucikan. Merugilah yang mengotorinya. Ini petikan dari Surah As-Sham ayat 7 sehingga 10. Dalam setipa jiwa hamba yang Allah ciptakan, diilhamkanNya dua jalan. Pertama, jalan kefasikan. Kedua, jalan ketaqwaan. Dalam setiap jiwa. Termasuk jiwa akak, jiwa mak kamu, jiwa ayah kamu dan jiwa kamu,” jelas saya sambil menundingkan jari telunjuk tepat ke dadanya.
“Setiap daripada kita adalah pemimpin kepada diri masing-masing. Dalam tangan kita terletak dua pilihan ini. Kita boleh memilih jalan kefasikan dan hidup dalam kemurkaan-Nya. Namun, dalam masa yang sama kita juga boleh memilih jalan taqwa dan menelusuri hidup ini dalam limpahan redha-Nya,” sambung saya. Dia saya lihat tertunduk.
“Kesimpulannya, kak, saya jadi begini kerana saya yang memilih untuk hidup dalam kefasikan. Begitu?” dia mengangkat wajahnya setelah berberapa detik. Saya menepuk-nepuk kura tangannya.
“Kita bukan malaikat yang seluruh hidupnya sarat dengan kebaikan, namun kita juga bukan iblis yang seluruh hidup penuh dengan keburukan. Dalam diri kita ada nafsu yang sering mendesak dan mengarahkan seluruh tubuh melakukan kemungkaran. Bahkan Nabi Yusuf AS sendiri menrintih tentang hal ini sebagaimana yang ditintakan oleh Allah “Dan aku tidak menganggap bahwa diriku terbebas dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan…” (Yusuf: 53). Namun ada sesuatu yang kita mampu lakukan untuk membendung nafsu kita,”
“Apa dia akak?” tanya junior saya tidak sabar.
“Mujahadah. “Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan-Ku, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69). Memilih jalan taqwa bermakna kita memilih untuk bermujahadah. Dan memilih jalan ini kamu kamu mendedahkan diri kamu pada satu hakikat,” jelas saya.
“Hakikat apa, kak?”
“kamu tidak akan menemui kesenangan sepanjang mengharungi jalannya kerana nikmatnya Allah simpan buatmu di syurga kelak dan nikmat kemenangan mu di dunia adalah ketenangan hati yang Allah campakkan ke dalam jiwa kerana Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka yang sedia ada (al-fath:4). Itulah hakikat mujahadah yang perlu sedar akannya, dik,”
“kamu beruntung. Dalam kemelut keluarga yang goyang pegangan agama, kamu dipili oleh Allah untuk mendalami dinnya. Itu satu peluang yang mungkin kamu terlepas pandang. Hargailah ia mulai saat ini. Allah sedang membimbingmu menuju jalan taqwa,’ lanjut saya.
“Antara dua jalan ini, akak dan kamu harus memilih. Jadi pilihlah yang terbaik,” saya mengahkiri perbualan kami. Angin petang bertiup sepoi-sepoi bahasa. Matahari bakal menghilangkan diri. Sebaliknya kamu, saya dan mereka akan terus dihadapkan dengan dua jalan. Di situ satu pilih harus dibuat. Jalan taqwa? Atau jalan kefasikan?
No comments:
Post a Comment